Aku tidak berpikir dua kali untuk bergabung saat Shabrina, salah
satu teman di kantorku, memberikan tantangan untuk 15 Hari Menulis. Aku memang
punya keinginan untuk menulis sejak lama, bahkan blog ini sudah aku buat dari
2010, tapi belum satu tulisan pun aku torehkan di sini. Sejujurnya, aku sama
sekali tidak tahu tentang skill menulis. Aku hanya menulis apa yang
ingin aku tulis. Dan saat aku tidak ingin melakukannya, aku tidak akan melakukannya.
Dulu, aku suka sekali membaca. Saat lampu kamar sudah
dimatikan karena waktunya tidur, aku seringkali secara diam-diam menyalakan
senter didekatku untuk sekedar menghabiskan buku yang sedang aku baca. Ya, aku memang tidak ingin tidur dengan membawa rasa penasaran terhadap ending ceritanya. Alhasil aku harus
menggunakan kacamata untuk membantu penglihatanku sejak kelas 3 SD. Minusku pun
harus bertambah saat aku memiliki hobi baru untuk membaca buku digital di handphone.
Aplikasi favoritku untuk membaca adalah iPusnas. Jika aku tidak bisa menemukan buku yang aku
cari versi gratisan, barulah aku menyempatkan untuk membelinya.
Aku lebih suka membaca ketimbang menonton, bahkan untuk
beberapa buku yang sudah difilmkan, aku lebih tertarik untuk membacanya saja.
Aku merasa saat membaca, aku bisa melepaskan imajinasiku sebebas-bebasnya,
dibanding jika aku harus menonton dan terpaku pada satu ekspresi. Itulah sebabnya
aku bercita-cita untuk berbagi pengalaman hidupku melalui tulisan, agar setiap orang yang membacanya bisa dengan bebas memberikan penafsirannya masing-masing.
Sayangnya belakangan ini aku jarang sekali membaca, dan aku jadi
pelupa. Aku yakin itulah penyebab utama dari menurunnya daya ingatku akhir-akhir ini. Tapi setelah
aku sadar pun, aku tetap malas membaca. Dasar!
Pandemi mengubah banyak hal, menurutku. Salah satunya adalah
budaya menulis ini. Dengan segala keterbatasan untuk bertemu, komunikasi
akhirnya tersalurkan melalui teks. Semua orang dipaksa untuk menyampaikan banyak
hal melalui tulisan. Pelajarannya adalah, bagaimana membuat orang mengerti apa
yang kita maksud itu penting. Karena tanda baca terkadang menggantikan
intonasi, dan pemilihan kata seolah langsung menunjukkan karakter si penulisnya.
Saat membuat konten untuk 15 Hari Menulis ini sebetulnya aku
terinspirasi dari buku berjudul “Simple Life” karya Desi Anwar yang aku pinjam
dari seorang teman. Di sana dia banyak bercerita tentang semua pengalaman,
pemikiran, dan caranya memandang kehidupan, dengan menyisipkan foto-foto
perjalanannya di setiap halaman. Juga buku “Aruna dan Lidahnya” yang aku pikir sangat
cocok untuk menggambarkan diriku yang sangat passionate terhadap apapun
yang berbau makanan. Jadilah aku mulai mencoba untuk menuangkannya.
Satu hal yang semakin aku sadari, aku memang memiliki keterbatasan jika harus merangkai kata menjadi suatu kalimat, terlebih lagi jika harus memberikan penjelasan dengan kalimat yang panjang. Hal ini terjadi baik saat aku harus mengucapkan maupun menuliskannya. Dan sampai saat ini pun aku masih sering merasa frustasi saat orang lain tidak mengerti apa yang aku sampaikan. Tapi aku tidak mau menyerah, aku pasti bisa!
Komentar
Posting Komentar