Aku sudah terbiasa melakukan apapun sendiri, bukan berarti aku tidak membutuhkan teman. Sebagai makhluk sosial tentu saja aku tetap membutuhkan kehadiran orang lain. Aku hanya perlu sedikit beradaptasi dengan segala bentuk kerepotan yang mungkin terjadi jika aku harus menghabiskan hariku bersama dengan orang lain. Seperti akhir pekan ini, aku memutuskan untuk berkeliling mengunjungi beberapa museum di Bandung seorang diri, setelah sebelumnya menemukan informasi bahwa museum di seluruh dunia libur pada hari Senin. Sebetulnya bukan tanpa alasan aku melakukan ini. Aku sedang ingin menghadirkan kembali momen kegirangan dan rasa penasaran setiap kali Ayah mengajakku berlibur ke tempat-tempat bersejarah dulu. Layaknya museum, beberapa kenangan yang masih tersimpan di memori pun harus dibiarkan tetap ada dan terawat bukan?
Seperti biasa, aku memulai ritual pagiku dengan menyantap Bubur Ayam Pelana di jalan Burangrang. Aku suka karakter bubur di Bandung yang disajikan tanpa kuah kaldu seperti bubur pada umumnya, tetapi gurihnya cukup terasa. Tentu saja dengan berbagai topping penyempurnanya seperti cakue, ati ampela, kulit, telur dan suwiran ayam. Ritual yang aku maksud adalah memastikan harmonisasi rasanya pas sebelum mendarat dilidahku, jadi harus diakui bahwa aku termasuk dalam golongan tim bubur diaduk.
![]() |
Bubur Ayam Pelana Burangrang |
Perjalananku dimulai sekitar jam 9 pagi dengan rute pertama menuju Museum Sri Baduga. Sesuai namanya, museum ini kental dengan sejarah dan kebudayaan masyarakat suku Sunda. Di sini banyak diceritakan kondisi geografis Jawa Barat mula-mula, kehidupan para raja dan peninggalannya yang masih tersimpan rapi hingga saat ini. Selanjutnya, aku beranjak ke Museum Geologi, tempat dimana beberapa fosil asli diabadikan dan banyak pengetahuan lainnya tentang sejarah fenomena alam yang pernah terjadi dan baru aku ketahui. Setelah puas berlama-lama di sini, aku melangkahkan kaki ke Museum Pos Indonesia yang letaknya sangat berdekatan. Kesan pertama saat menginjakkan kaki di sini adalah, museum ini sepi sekali. Suara video jaman dulu yang sedang diputar seakan bergaung di dalam bangunan yang merupakan peninggalan Belanda. Beberapa kali tentu saja membuatku merinding karena hawa dingin dan suasana yang kurang nyaman untukku. Destinasi terakhirku adalah Museum Gedung Sate yang juga masih satu lokasi dengan dua museum sebelumnya. Di sini kurang lebih sama dengan Museum Sri Baduga yang banyak menceritakan Tatar Pasundan dan sejarah kolonial lainnya, tapi dengan sentuhan teknologi virtualisasi yang sangat canggih.
Ya, museum yang aku kunjungi saat ini jauh berbeda dengan museum yang pernah aku tahu, yang banyak menceritakan perjuangan pahlawan kemerdekaan. Tetapi sensasi dan emosi yang aku rasakan cukup membawaku untuk kembali bernostalgia. Bedanya sekarang tidak ada lagi tempat untuk bertanya, Ayah. Aku melangkah pulang sambil berucap dalam hati, "akan aku tunjukkan pada anakku kelak, bagaimana Ayah melakukannya untukku".
Komentar
Posting Komentar