Ayahku seorang dokter, tapi dia tidak mau memeriksa kami, anak-anaknya, jika kami jatuh sakit. Dia selalu menyarankan kami untuk pergi ke dokter lain atau mengantarkan ke klinik terdekat jika sudah mulai tidak enak badan. Alasannya simple, saat harus memeriksa keluarganya, dia harus melibatkan perasaan juga di sana, tidak bisa hanya mengandalkan logika saja. Suatu alasan yang baru aku mengerti sekarang, tentang orang dewasa yang memang serumit itu pemikirannya.
Ayahku bukan tipe ayah yang galak. Sepanjang ingatanku,
belum pernah ayah berlaku dan bertutur kasar kepadaku. Pernah suatu ketika,
saat aku mulai rewel dan membuatnya kesal, tanpa sengaja Ibu ikut gemas dan memukul
pundakku. Saat itu juga Ayah menegur Ibuku lembut, dengan tidak membenarkan
sikapnya, tetapi juga tidak membela kesalahanku.
Ayahku tidak pernah memaksaku untuk menjadi dokter. Tapi
harapann agar anak-anaknya maju di bidang akademis selalu ditunjukkannya. Salah
satu contohnya, saat Ayah mengantar-jemputku ke sekolah, tidak jarang kami
bertemu pengamen cilik di sepanjang perjalanan. Dan di setiap kesempatan itu
juga Ayah selalu mengatakan hal yang sama padaku: “Kalau dia nilai
matematikanya kecil, ya nggak apa-apa, karena waktu yang dia punya habis untuk bantu
Ibunya cari uang, kalau nggak begitu ya dia nggak makan”.
Ayahku tidak pernah langsung memberikan jawaban setiap aku
bertanya tentang pekerjaan rumah yang diberikan oleh Bu Guru di sekolah. Ia selalu memintaku
untuk membaca beberapa buku untuk menyimpulkan sendiri apa yang menjadi jawabannya. Katanya, jika
ada orang tua yang terus-terusan menuntun anaknya untuk belajar naik sepeda,
itu bukan tanda sayang. Karena rasa sakit tidak akan terasa sakitnya, dan tidak
akan pernah menjadi pelajaran, jika hanya diceritakan.
Ayahku mengeluarkan energinya hanya untuk sesuatu yang
penting. Dia sangat pendiam, tiap kata yang keluar dari mulutnya seolah sudah
dipikirkan 10 kali sebelum diucapkannya. Sepertinya, disinilah letak kesamaan
kami. Aku merasa nyaman jika harus duduk bersama dengan Ayah, tanpa mengucapkan
sepatah kata pun, atau hanya mengomentari hal-hal yang menurut kami penting. Tentunya
bukan diam yang asyik memainkan gadget masing-masing.
Ayahku adalah pendengar yang baik, dia tidak pernah
menghakimi setiap cerita yang aku sampaikan. Cara Ayah mengingatkan juga selalu
masuk akal bagiku. “Kalau lagi seneng, hadapi sewajarnya saja, biar nanti kalau
sedih juga nggak sedih banget”
Ayahku selalu mengingatkan bahwa sabar itu tidak berbatas. Caranya
mengajarkan tentang sabar adalah dengan mengibaratkan seseorang yang sedang
memandang luasnya lautan, saat dia masih melihat batasnya, itu bukan sabar. Dia
tidak hanya pandai berfilosofis, tetapi dia selalu mempraktekannya di depanku,
di depan semua orang. Dia orang yang super duper sabar menurutku, belum ada tandingannya. Salah satu tips darinya jika kita menghadapi sesuatu yang
kurang menyenangkan adalah, tarik napas dalam-dalam selama tiga detik seolah
sedang memasukkan semua oksigen ke otak, dan mengeluarkannya perlahan.
Aku tidak perlu mengucapkan banyak kata cinta untuknya,
begitupun sebaliknya. Cara Ayah menjagaku dalam diam sudah cukup untuk
mengatakan semuanya.
Komentar
Posting Komentar