Langsung ke konten utama

Ayah (bukan Novel Andrea Hirata)

Ayahku seorang dokter, tapi dia tidak mau memeriksa kami, anak-anaknya, jika kami jatuh sakit. Dia selalu menyarankan kami untuk pergi ke dokter lain atau mengantarkan ke klinik terdekat jika sudah mulai tidak enak badan. Alasannya simple, saat harus memeriksa keluarganya, dia harus melibatkan perasaan juga di sana, tidak bisa hanya mengandalkan logika saja. Suatu alasan yang baru aku mengerti sekarang, tentang orang dewasa yang memang serumit itu pemikirannya.

Ayahku bukan tipe ayah yang galak. Sepanjang ingatanku, belum pernah ayah berlaku dan bertutur kasar kepadaku. Pernah suatu ketika, saat aku mulai rewel dan membuatnya kesal, tanpa sengaja Ibu ikut gemas dan memukul pundakku. Saat itu juga Ayah menegur Ibuku lembut, dengan tidak membenarkan sikapnya, tetapi juga tidak membela kesalahanku.

Ayahku tidak pernah memaksaku untuk menjadi dokter. Tapi harapann agar anak-anaknya maju di bidang akademis selalu ditunjukkannya. Salah satu contohnya, saat Ayah mengantar-jemputku ke sekolah, tidak jarang kami bertemu pengamen cilik di sepanjang perjalanan. Dan di setiap kesempatan itu juga Ayah selalu mengatakan hal yang sama padaku: “Kalau dia nilai matematikanya kecil, ya nggak apa-apa, karena waktu yang dia punya habis untuk bantu Ibunya cari uang, kalau nggak begitu ya dia nggak makan”.

Ayahku tidak pernah langsung memberikan jawaban setiap aku bertanya tentang pekerjaan rumah yang diberikan oleh Bu Guru di sekolah. Ia selalu memintaku untuk membaca beberapa buku untuk menyimpulkan sendiri apa yang menjadi jawabannya. Katanya, jika ada orang tua yang terus-terusan menuntun anaknya untuk belajar naik sepeda, itu bukan tanda sayang. Karena rasa sakit tidak akan terasa sakitnya, dan tidak akan pernah menjadi pelajaran, jika hanya diceritakan.

Ayahku mengeluarkan energinya hanya untuk sesuatu yang penting. Dia sangat pendiam, tiap kata yang keluar dari mulutnya seolah sudah dipikirkan 10 kali sebelum diucapkannya. Sepertinya, disinilah letak kesamaan kami. Aku merasa nyaman jika harus duduk bersama dengan Ayah, tanpa mengucapkan sepatah kata pun, atau hanya mengomentari hal-hal yang menurut kami penting. Tentunya bukan diam yang asyik memainkan gadget masing-masing.

Ayahku adalah pendengar yang baik, dia tidak pernah menghakimi setiap cerita yang aku sampaikan. Cara Ayah mengingatkan juga selalu masuk akal bagiku. “Kalau lagi seneng, hadapi sewajarnya saja, biar nanti kalau sedih juga nggak sedih banget”

Ayahku selalu mengingatkan bahwa sabar itu tidak berbatas. Caranya mengajarkan tentang sabar adalah dengan mengibaratkan seseorang yang sedang memandang luasnya lautan, saat dia masih melihat batasnya, itu bukan sabar. Dia tidak hanya pandai berfilosofis, tetapi dia selalu mempraktekannya di depanku, di depan semua orang. Dia orang yang super duper sabar menurutku, belum ada tandingannya. Salah satu tips darinya jika kita menghadapi sesuatu yang kurang menyenangkan adalah, tarik napas dalam-dalam selama tiga detik seolah sedang memasukkan semua oksigen ke otak, dan mengeluarkannya perlahan.

Aku tidak perlu mengucapkan banyak kata cinta untuknya, begitupun sebaliknya. Cara Ayah menjagaku dalam diam sudah cukup untuk mengatakan semuanya.

Komentar