Langsung ke konten utama

Kisah Kasih di Sekolah

“Jadi kita jadian?” tanyaku, sesaat setelah dia memberikan jeda pada kata terakhirnya.

“Buat apa jadian? Orang liat kita sering jalan bareng juga pasti udah tahu kalau kita memang deket”, jawabnya.

Rasanya terlalu berlebihan jika aku menilainya bukan laki-laki yang berkomitmen. Toh, komitmen apa yang diharapkan dari pasangan yang hanya berpacaran? Sejenak percakapan kami terhenti, kembali mencoba menikmati Surabi hangat favorit kami di daerah Setiabudi. Aku merasa ada yang salah dengan lidahku saat itu. Bagaimana tidak? Momen yang aku tunggu-tunggu saat dia menyatakan perasaannya padaku ternyata tidak seindah yang dibayangkan. Rasanya memang deg-degan, ada sensasi menggelitik di perut, beberapa kali salah tingkah, tapi tetap saja ada sedikit rasa kecewa di sana. Satu hal yang seketika aku sadari, dia memang sedingin itu.

Surabi WS Setiabudi

Sering bersama baik saat kuliah maupun nongkrong, tidak membuat perbedaan sifat diantara kami memudar. Aku yang sangat perasa, sering kali harus mencoba menerima ketidakpekaannya. Pernah suatu hari aku merasa sangat sedih karena sikap cueknya padaku, dibumbui dengan hormon PMS yang memang sedang naik turun, membuat tenggorokanku serasa tercekat sampai-sampai menangis. Saat mendengar suaraku yang sedikit parau, dia langsung menghentikan motornya dan terus mendesak aku untuk mengatakan kesalahan apa yang sudah dia perbuat. Tentu saja tangisanku makin menjadi-jadi karena ternyata benar dia memang tidak sadar akan perlakuannya padaku dan menganggapnya biasa saja. Alih-alih menawarkan bahu untuk bersandar, dia malah memintaku untuk turun dari motornya dan menghubunginya nanti jika aku sudah selesai dengan diriku sendiri. Konyol.

Dia memang tidak suka menunjukkan perhatiannya padaku di depan banyak orang. Tapi dibalik itu, sebetulnya dia termasuk orang yang sangat posesif dan cemburuan. 

Sepulang menemaninya ikut kejuaraan karate, aku sempat iseng meledeknya saat scene serial FTV yang aku tonton sedang menceritakan tentang dua lelaki yang memperebutkan perhatian si pemeran wanita. Dia ada disebelahku juga saat itu, tapi sibuk dengan games di ponselnya.

“Nanti kalau ada orang lain yang suka sama aku, kamu bakal berantem gitu juga nggak?”

Dia tertawa sinis, “Ngapain? Buang-buang energi”, katanya sambil tetap angkuh menjaga gengsinya.

Setelah 4 tahun bersama, aku merasa bahwa hubungan ini memang tidak bisa dilanjutkan lagi. Aku memutuskan untuk menyudahi semuanya, dia pun sepakat. Selang beberapa waktu kemudian, saat aku mencoba memberanikan diri untuk dekat dengan lelaki lainnya, aku mendapat kabar dari seorang teman bahwa dia berbuat ulah. Dia sengaja menemui lelaki ini dan sekonyong-konyong mendaratkan pukulannya, melampiaskan semua kekesalannya. Aku yang merasa bahwa semuanya sudah selesai, tentu saja kaget dan langsung menghubunginya. Di ujung telepon sana dia meminta maaf, dan berkata bahwa itulah caranya untuk melepaskanku.

Hahaha, unik memang cara semesta mengajariku tentang cinta. Tapi aku merasa beruntung bisa mengalami masa dimana ‘ditembak dan jadian’ adalah sebuah lambang relationship. Setidaknya ada memori yang bisa membuatku tersenyum geli saat mengingatnya.

Komentar