Build the system, then trust. Setidaknya itu kata-kata terakhir yang aku catat di akhir sesi 1-on-1 antara aku dan Mas CEO. Namanya Gibran Chuzaefah Amsi El Farizy, nama yang membuatku sedikit berpikir lebih keras setiap kali petugas visa memintaku mengeja setiap hurufnya dengan alfabet fonetik. Bekerja beberapa tahun terakhir untuknya tentu saja memberikan kesempatan padaku untuk menyerap banyak hal, termasuk wisdom dan energi berlebih yang dia miliki. Disclaimer: tentu saja ini hanya pendapatku, semua orang bebas memiliki impresinya masing-masing.
Kesan
pertama yang membuatku respect hingga saat ini adalah dia selalu menunjukkan pribadi
yang apa adanya. Dengan semua fasilitas yang bisa digunakan sekarang, dia masih
saja sering bertanya jika tiba-tiba aku memesankan kursi business class untuk tiket
pesawatnya, atau suite room untuknya beristirahat. Padahal kadang memang tiket
yang tersisa hanya itu.
Selain
ambisius, dia juga memiliki sifat yang judgemental. Caranya mengingat
sifat orang hanya berhenti pada kesan yang sangat membekas. Uniknya, dia
selalu bisa melihat seseorang dari sisi yang lain. Jika kita merasa
underestimate terhadap seseorang, bisa jadi dia berpendapat kebalikannya, seolah
selalu percaya bahwa setiap orang punya potensinya masing-masing yang
seharusnya bisa dikeluarkan.
Kami
memiliki batas yang menurutku terbentuk secara natural. Aku tahu kapan harus
bertanya lebih jauh, baik dalam hal mengurus segala keperluannya maupun hanya dalam
rangka memuaskan rasa penasaranku, dan tahu kapan harus berhenti. Jika bicara
tentang keluarga, dia adalah orang yang cukup family-man. Dia selalu siap jika
anak kesayangannya atau sang istri memang sedang membutuhkan kehadirannya. Maka
dari itu, aku biasanya sengaja mengosongkan agendanya di tanggal-tanggal bersejarah
tertentu.
Jika
dia sudah memberikan kepercayaan kepada seseorang, saat itu juga dia akan
mengeset ekspektasi dan menentukan batas toleransinya. Dia tidak akan melakukan
intervensi jika semuanya masih berjalan wajar dan tidak melewati ambang batas. Dia
juga cukup konsisten terhadap apa yang pernah dia putuskan. Tapi sayangnya,
dengan banyaknya hal yang harus dipikirkan, kadang memorinya untuk mengingat
sesuatu cukup pendek. Itu sebabnya aku harus sigap mencatat setiap hal penting,
dan harus sedikit bersabar jika diminta mengulangi informasi yang sebetulnya sudah
pernah aku sampaikan sebelumnya.
Dia
pribadi yang cukup disiplin, selalu hadir di setiap agenda tepat pada jam yang dijadwalkan
di kalender. Tapi bukan disiplin yang terkesan kaku, pembawaannya sangat santai
dan sering bercanda. Menurutku, dia kadang memang kurang berempati pada hal-hal
tertentu, tapi sangat peduli terhadap orang-orang disekelilingnya dan selalu
berusaha untuk mendengarkan.
Dia
sangat sabar dan tidak pernah marah, bahkan saat dia akhirnya gagal terbang ke Belanda
untuk keperluan fundraising, terkatung-katung di bandara karena kesalahan yang aku buat. Tapi dia sangat
tidak permissive terhadap apapun yang menurutnya bertentangan dengan yang seharusnya.
Masih banyak hal menarik yang ingin aku ceritakan di sini sebetulnya, tapi sepertinya otak, mata dan tangan sudah berteriak mengajakku beristirahat :))
Komentar
Posting Komentar